WELCOME TO MY BLOG, DON'T FORGET TO LEAVE A COMMENT _ Selamat datang di blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar... THANK YOU :)

Jumat, 29 November 2013

Penerapan Undang-undang Guru dan Dosen

Sebelum UUGD disahkan, guru pernah di posisikan sebagai "manusia suci", semacam resi yang pintar dan tulus berbudi. Dan mungkin inilah yang menjadikan penyebab kenapa kita seperti tidak serius memikirkan kesejahteraan para guru, karena memang pernah tertanam kesadaran bahwa guru itu hidup sederhana dan ikhlas berjuang. Tetapi sekarang, kita sepakat, sudah sepantasnya guru mendapatkan kesejahteraan, hidup yang layak, sehingga (mungkin) dengan kesejahteraan yang diperolehnya seorang guru menjadi lebih serius dalam menjalankan tugasnya.
Setelah Undang Undang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan dan disosialisakan, banyak kalangan berlomba-lomba ingin menjadi guru. Maka kemudian, banyak perguruan tinggi ramai-ramai membuka program Akta IV, sebagai jalan pintas mendapatkan sertifikat mengajar bagi lulusan non-pendidikan. Satu sisi program itu dibuka dengan tujuan untuk membantu lulusan non-pendidikan yang punya kemauan menjadi guru untuk bisa mendapatkan sertifikat mengajar, tapi di sisi lain program itu terkadang tidak memberikan bekal yang maksimal untuk menciptakan guru-guru yang profesional.
UUGD memang menjadi tantangan sekaligus harapan bagi para guru. Harapan itu muncul karena UU tersebut secara jelas dan tegas menjanjikan terwujudnya hak-hak guru secara optimal serta mewajibkan guru untuk tampil secara profesional dengan sejumlah persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi untuk mengukuhkan keprofesionalannya. Guru seharusnya sudah memegang sejumlah syarat serta kriteria keprofesionalan sebagaimana yang disebutkan dalam UUGD, yakni kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, profesional. Syarat itu sudah mesti ada, meskipun kita belum mempunyai lembaran kompetensi yang resmi. Dengan logika sederhana itu, kompetensi atau kualifikasi keprofesioanalan guru sudah ada bersamaan dengan disandangnya nama guru pada seseorang.
Di sahkannya UUGD pada tanggal 6 Desember 2005 menarik minat banyak kalanganuntuk menjadi guru. Sayangnya keinginan itu timbul lebih banyak karena diakibatkan oleh iming-iming bermacam tunjangan, bukan karena ingin menjadi pendidik yang baik.
Terlepas adanya beberapa kelemahan redaksional, maupun kesan keragu-raguan dalam menyajikan substansi, kehadiran Undang-Undang Guru dan Dosen patutkita syukuri, khususnya dilihat dari adanya kesadaran akan pentingnya pengakuan nyata terhadap keberadaan tenaga kependidikan sebagai profesi. Ambivalensi pengakuan terhadap jasa tenaga kependidikan selama ini, ternyata hanya melahirkan kesan, menjadi guru atau dosen bukanlah pilihan utama generasi muda terbaik dari bangsa ini. Buramnya nasib guru, juga dosen, menjadi miniatur buramnya wajah dunia pendidikan kita. Yang akhirnya bermuara pada rendahnya angka indeks mutu sumberdaya manusia, dan rendahnya daya saing bangsa. Tidak bijaksana pula bila mutu hasil akhir pendidikan sepenuhnya dibebankan kepada kesalahan tenaga kependidikan saja melainkan tanggungjawab bersamaJika undang-undang guru dan dosen di implementasikan secara penuh maka yang terjadi adalah tercapainya tujuan nasional pendidikan karena didorong oleh peningkatan mutu baik siswa, guru, lembaga maupun pihak lain.
Berikut adalah hal yang akan terjadi jika undang-undang guru dan dosen diimplementasikan dengan maksimal: tercapainya kesejahteraan guru, memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual, meningkatnya Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi, memeliki kebebasan dalam berserikat dalam organisasi profesi, memperoleh pelatihandan pengembangna profesi dalam bidangnya, mendapatkan kesempatan untuk memperoleh peningkatan kompetensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar