WELCOME TO MY BLOG, DON'T FORGET TO LEAVE A COMMENT _ Selamat datang di blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar... THANK YOU :)

Selasa, 03 Desember 2013

Tata Kehidupan Masyarakat Prasejarah

A. Sistem kemasyarakatan
Manusia prasejarah sangat menggantungkan diri pada kondisi alam. Daerah-daerah yang didiami harus memberikan persediaan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Tempat-tempat seperti itu harus mengandung bahan makanan dan air. Manusia hidup dalam kelompok-kelompok dan membekali dirinya untuk menghadapi lingkungan sekelilingnya. Masyarakat sebagai kumpulan individu membentuk ikatan-ikatan yang perlu dipatuhi oleh individu kelompok tersebut. Individu yang hidup sendiri-sendiri tak mungkin membentuk suatu kehidupan sosial karena bagi mereka hal itu memang tidak diperlukan.
Pada masa kehidupan mengembara (nomaden) mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang hidup di gua-gua. Gua-gua yang mereka pilih terletak di daerah yang sangat dekat dengan sumber makanan seperti daerah di tepi-tepi pantai dan sungai. Mereka mempunyai seorang pemimpin yang dianggap paling tua (sesepuh). Kehidupan keluarga tidak jelas, yang pasti mereka mengenal hidup berkeluarga. Hal ini penting untuk melanjutkan keturunan. Sistem pembagian kerja di antara mereka sudah ada. Kaum pria bertugas mencari makanan. Hal ini didasarkan pada kondisi alam yang kasar dan didukung fisik yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan kaum wanita.
Sedangkan tugas kaum wanita antara lain:
􀀵 Mengumpulkan makanan yang memerlukan tenaga yang tidak terlalu besar.
􀀵 Mengurus anak-anak.
􀀵 Memilih (seleksi) tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan.
􀀵 Membimbing anak-anak dalam meramu makanan.
􀀵 Berkewajiban memelihara api (setelah ditemukan).
􀀵 Meningkatkan cara-cara menyiapkan makanan.

Kehidupan mengembara (nomaden) berlangsung terus dari zaman batu tua sampai zaman batu
tengah (mesolithikum). Baru pada zaman batu mu-da ada tanda-tanda bahwa mereka telah hidup menetap (sedenter). Ini merupakan suatu revolusi besar pertama dalam kehidupan manusia, bersamaan dengan revolusi di bidang ekonomi. Proses perubahan tata kehidupan tersebut ditandai dengan perubahan cara memenuhi kebutuhan hidup, yang berlangsung secara perlahan-lahan. Demikian pula bentuk tempat-tempat tinggal yang dibangun secara tidak beraturan. Bentuk rumah pada tingkat permulaan agak kecil, berbentuk bulat, atap dari daun-daunan dan langsung ke tanah. Setelah itu, bentuk rumah berkembang ke bentuk-bentuk yang lebih besar, yang dibangun di atas tiang. Rumah-rumah itu biasanya dibangun berdekatan dengan ladang. Pendirian rumah bertiang itu dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari bahaya banjir atau gangguan binatang buas. Pembuatan rumah ini dilakukan dengan cara gotong royong yang disertai berbagai upacara yang bertingkat-tingkat dan pantangan.
Pada masa ini mereka telah memelihara hewan peliharaan (beternak). Hewan yang penting pada masa itu ialah anjing dan babi. Anjing dipelihara untuk berburu sedangkan babi untuk dimakan dagingnya. Anjing juga sangat penting sebagai binatang korban dalam upacara keagamaan. Pada masa perundagian manusia hidup di desa-desa daerah pegunungan, dataran rendah, dan tepi-tepi pantai. Tata kehidupan mereka semakin teratur dan terpimpin. Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang teknologi, yang bertujuan me-ningkatkan kesejahteraan hidup, mengakibatkan bertambahnya masyarakat yang sudah teratur. Namun demikian, perburuan binatang-binatang liar seperti harimau dan kijang masih dilakukan. Perburuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat keberanian seseorang dalam lingkungan masyarakat tersebut.

B. Sistem kepercayaan
Kehidupan kepercayaan masa prasejarah baru dimulai pada masa batu muda, sejalan dengan
tingkat kehidupan mereka yang telah menetap. Sebelum masa itu, bukti-bukti adanya kehidupan kepercayaan masih sangat samar-samar. Adanya lukisan di gua-gua pada masa akhir batu tengah mungkin merupakan petunjuk adanya kehidupan kepercayaan. Lukisan-lukisan di gua-gua memberikan petunjuk, bahwa masyarakat pada waktu itu sudah mengenal adanya kekuatan gaib yang dianggap lebih berkuasa. Petunjuk lain dari masa sebelum kehidupan menetap ialah adanya penguburan mayat. Kiranya penguburan ini menunjukkan bahwa mereka telah menghargai kehidupan setelah mati. Mereka juga mempunyai anggapan bahwa roh orang yang sudah mati mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia yang masih ada di dunia ini. Bukti-bukti tentang penguburan ditemukan di Gua Lawa (Lampung), Sodong, dan di Bukit Kerang (Sumatera Utara). Upacara yang paling mencolok adalah upacara pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap tetua (sesepuh) oleh masyarakat. Tradisi mendirikan bangunan megalitik selalu berkaitan dengan kepercayaan bahwa ada hubungan antara yang masih hidup dan yang telah mati. Bangunan batu didirikan sebagai penghormatan kepada roh nenek moyang dan symbol bagi kedatangannya. Bangunan-bangunan ini ditemukan di daerah-daerah Laos, Nankin, Indonesia, Pasifik sampai Polinesia. Tradisi megalitik yang masih hidup hingga sekarang antara lain di Assam, Burma (suku Naga, Khori, dan Ischim), dan Indonesia (Nias, Toraja, Flores, dan Sumba).
C. Pertanian
Pola bercocok tanam dikerjakan dengan amat sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut kadar kesuburan tanah. Hutan yang akan dijadikan tanah pertanian dibakar terlebih dahulu serta dibersihkan, kemudian ditanami umbi-umbian seperti keladi. Mereka sudah menanam suatu jenis padi liar yang terdapat di hutan dan kemudian mengetam dengan menggunakan pisau-pisau batu yang tajam.
Setelah musim panen, tanah pertanian yang sederhana tersebut ditinggalkan. Pola pertanian amat sederhana yang dilakukan secara berpindahpindah ini ditemukan di daerah Asia Tenggara. Jenis tanam-tanaman itu pada umumnya tumbuh secara liar, tetapi ada juga yang sengaja ditanam dengan jalan memisahkan tunas-tunasnya atau dengan langsung menanam pokok-pokok batangnya. Tanaman lain yang mungkin sudah dikenal adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam di sawah kering yaitu dengan menaburkan biji-bijian. Perlu diingat bahwa, alam tidak selamanya menyediakan tanah yang subur. Pada suatu ketika semua itu akan berkurang dan tanah-tanah makin habis kesuburannya. Akibatnya, tanah yang kurang subur tersebut ditinggalkan. Kemu-dian, tanah baru dibuka di tempat lain dengan menebangi hutan-hutan dan membakar semak belukar yang telah mengering. Alat-alat yang di-gunakan pada masa itu terbuat dari batu, tulang-tulang binatang,
tanduk, dan kayu. Di tempat-tempat tandus muncul industri-industri lokal yang menghasilkan alat-alat kerja untuk kepentingan masyarakat. Bukti-bukti ten-tang hal ini kita temukan di beberapa tempat seperti di Punung, Kendeng, Lembu, Wonogiri, sekitar Bogor, Purwakarta, dan di Lahat (Sumatera Selatan).
D. Bahasa
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka selalu bergerombol. Untuk menangkap binatang diperlukan sikap gotong royong, alat-alat berburu, pemikiran, komunikasi, daya ingat, kemampuan merancang, dan koordinasi otot. Hasil buruan tersebut tentu tidak habis di-makan di tempat, sehingga makanan itu harus di-bawa ke pangkalan (tempat tinggal) dan disimpan. Dalam kegiatan sosial tersebut tentu diperlukan alat komunikasi. Ada dugaan bahwa bahasa dalam bentuk sederhana sudah dipakai oleh pithecanthropus, walaupun harus dibantu dengan isyarat wajah dan anggota badan. Timbulnya komunikasi dalam evolusi budaya dicerminkan dalam perkembangan otak dan bentuk tenggorokan. Bahasa sebagai alat komunikasi ma-nusia sudah mulai terbentuk pada tingkat berburu. Kemungkinan adanya bentuk-bentuk komunikasi dengan bahasa yang masih sederhana dapat di-buktikan melalui penelitian endokranial pada pi-thecanthropus. Pada tingkat homo sapiens telah tercipta bahan yang menjadi alat komunikasi utama dalam kehidupan sosial manusia. Hasil-hasil penyelidikan menunjukkan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia termasuk rumpun Melayu Polinesia. Keserumpunan ini didasarkan atas penelitian Basic Vocabulary pada berbagai bahasa yang dipergunakan di Kepulauan Austronesia hingga Polinesia. Bahkan, ciri-ciri keserumpunan itu dijumpai pada bahasa-bahasa Mon Khmer-Thai di daratan Asia Tenggara.
E. Pelayaran
Masyarakat prasejarah Indonesia telah mengenal astronomi. Ilmu yang sangat membantu pada
saat mereka berlayar dari pulau ke pulau dengan memakai perahu yang sangat sederhana. Pembuatan perahu dilakukan secara gotong royong. Sebatang pohon besar yang ditumbangkan bersama- sama untuk keperluan pembuatan perahu dipotong-potong dengan alat batu dan disesuaikan dengan ukuran perahu yang dikehendaki. Setelah potongan batang pohon itu kering, kulitnya dikupas dengan alat beliung dan belicung. Untuk pembuatan rongga, dilakukan pembakaran sedikit demi sedikit. Selanjutnya perahu dihaluskan, kemudian disiapkan cadik-cadik di kedua belah sisi badan perahu. Perahu-perahu cadik merupakan bentuk yang paling umum dikenal pada waktu itu. Perahu cadik merupakan elemen terpenting yang tidak dapat dipisahkan dari penyebaran tradisi beliung persegi dengan segala aspeknya (sosial ekonomi dan kepercayaan). Pada masa bercocok tanam telah muncul bentuk perdagangan yang bersifat barter. Barang-barang yang ditukarkan itu dibawa dengan jarak tempuh yang jauh melalui sungai, laut dan darat. Perahu dan rakit-rakit bambu memegang peranan yang sangat penting sebagai sarana lalu lintas dan sekaligus sebagai alat penyebaran budaya. Semenjak manusia dapat berlayar dengan perahu, jarak yang jauh dapat ditempuh dengan mudah. Sarana transportasi melalui jalan laut lebih menguntungkan daripada jalan darat. Sistem perdagangan sudah lebih berkembang menjadi perdagangan antarpulau, bahkan antar benua. Hal ini dapat dilihat dari ragam benda-benda yang ditemukan di Indonesia. Benda-benda itu memperlihatkan corak budaya dari daratan Asia Tenggara.
F. Budaya
Nilai-nilai budaya masa prasejarah dapat menumbuhkan kesadaran nasional bagi generasi yang akan datang sehingga perlu dilestarikan. Nilai-nilai itu antara lain, sebagai berikut.
1. Gotong royong. Gagasan gotong royong sudah dikenal oleh masyarakat prasejarah. Dalam
perkembangan masalah gotong royong menjadi salah satu nilai dalam masyarakat Indonesia.
2. Musyawarah dan mufakat. Kebiasaan mendahulukan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bersama serta mengenal prinsip pemilihan seseorang pemimpin diantara mereka.
3. Persatuan dan kesatuan. Mereka memiliki rasa cinta terhadap tanah kelahiran. Nilai-nilai ini
menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembang rasa nasionalisme bagi Bangsa Indonesia.

4. Nilai persamaan. Masyarakat Indonesia telah mengenal nilai persamaan dan tidak membedakan sara. Mereka memberikan bantuan bagi yang memerlukan tanpa membeda-bedakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar