A. Sistem kemasyarakatan
Manusia prasejarah sangat
menggantungkan diri pada
kondisi alam. Daerah-daerah yang didiami harus memberikan persediaan makanan untuk
kelangsungan hidupnya. Tempat-tempat seperti itu harus mengandung bahan makanan
dan air. Manusia hidup dalam kelompok-kelompok dan membekali dirinya untuk
menghadapi lingkungan sekelilingnya. Masyarakat sebagai kumpulan individu membentuk
ikatan-ikatan yang perlu dipatuhi oleh individu kelompok tersebut. Individu
yang hidup sendiri-sendiri tak mungkin membentuk suatu kehidupan sosial karena
bagi mereka hal itu memang tidak diperlukan.
Pada masa kehidupan mengembara (nomaden)
mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang hidup di gua-gua. Gua-gua yang
mereka pilih terletak di daerah yang sangat dekat dengan sumber makanan seperti
daerah di tepi-tepi pantai dan sungai. Mereka mempunyai seorang pemimpin yang dianggap
paling tua (sesepuh). Kehidupan keluarga tidak jelas, yang pasti mereka
mengenal hidup berkeluarga. Hal ini penting untuk melanjutkan keturunan. Sistem
pembagian kerja di antara mereka sudah ada. Kaum pria bertugas mencari makanan.
Hal ini didasarkan pada kondisi alam yang kasar dan didukung fisik yang relatif
lebih kuat dibandingkan dengan kaum wanita.
Sedangkan tugas kaum wanita antara
lain:
Mengumpulkan makanan yang
memerlukan tenaga yang tidak terlalu besar.
Mengurus anak-anak.
Memilih (seleksi)
tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan.
Membimbing anak-anak dalam
meramu makanan.
Berkewajiban memelihara api
(setelah ditemukan).
Meningkatkan cara-cara
menyiapkan makanan.
Kehidupan mengembara (nomaden) berlangsung
terus dari zaman batu tua sampai zaman batu
tengah (mesolithikum). Baru pada zaman
batu mu-da ada tanda-tanda bahwa mereka telah hidup menetap (sedenter).
Ini merupakan suatu revolusi besar pertama dalam kehidupan manusia, bersamaan dengan
revolusi di bidang ekonomi. Proses perubahan tata kehidupan tersebut ditandai
dengan perubahan cara memenuhi kebutuhan hidup, yang berlangsung secara
perlahan-lahan. Demikian pula bentuk tempat-tempat tinggal yang dibangun secara
tidak beraturan. Bentuk rumah pada tingkat permulaan agak kecil, berbentuk
bulat, atap dari daun-daunan dan langsung ke tanah. Setelah itu, bentuk rumah berkembang
ke bentuk-bentuk yang lebih besar, yang dibangun di atas tiang. Rumah-rumah itu
biasanya dibangun berdekatan dengan ladang. Pendirian rumah bertiang itu
dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari bahaya banjir atau gangguan binatang
buas. Pembuatan rumah ini dilakukan dengan cara gotong royong yang disertai
berbagai upacara yang bertingkat-tingkat dan pantangan.
Pada masa ini mereka telah memelihara
hewan peliharaan (beternak). Hewan yang penting pada masa itu ialah anjing dan
babi. Anjing dipelihara untuk berburu sedangkan babi untuk dimakan dagingnya.
Anjing juga sangat penting sebagai binatang korban dalam upacara keagamaan.
Pada masa perundagian manusia hidup di desa-desa daerah pegunungan, dataran
rendah, dan tepi-tepi pantai. Tata kehidupan mereka semakin teratur dan
terpimpin. Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang teknologi, yang
bertujuan me-ningkatkan kesejahteraan hidup, mengakibatkan bertambahnya masyarakat
yang sudah teratur. Namun demikian, perburuan binatang-binatang liar seperti
harimau dan kijang masih dilakukan. Perburuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan
tingkat keberanian seseorang dalam lingkungan masyarakat tersebut.
B. Sistem kepercayaan
Kehidupan kepercayaan masa prasejarah
baru dimulai pada masa batu muda, sejalan dengan
tingkat kehidupan mereka yang telah
menetap. Sebelum masa itu, bukti-bukti adanya kehidupan kepercayaan masih
sangat samar-samar. Adanya lukisan di gua-gua pada masa akhir batu tengah mungkin
merupakan petunjuk adanya kehidupan kepercayaan. Lukisan-lukisan di gua-gua
memberikan petunjuk, bahwa masyarakat pada waktu itu sudah mengenal adanya
kekuatan gaib yang dianggap lebih berkuasa. Petunjuk lain dari masa sebelum
kehidupan menetap ialah adanya penguburan mayat. Kiranya penguburan ini
menunjukkan bahwa mereka telah menghargai kehidupan setelah mati. Mereka juga
mempunyai anggapan bahwa roh orang yang sudah mati mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan manusia yang masih ada di dunia ini. Bukti-bukti tentang penguburan
ditemukan di Gua Lawa (Lampung), Sodong, dan di Bukit Kerang (Sumatera Utara).
Upacara yang paling mencolok adalah upacara pada waktu penguburan, terutama
bagi mereka yang dianggap tetua (sesepuh) oleh masyarakat. Tradisi mendirikan
bangunan megalitik selalu berkaitan dengan kepercayaan bahwa ada hubungan antara
yang masih hidup dan yang telah mati. Bangunan batu didirikan sebagai
penghormatan kepada roh nenek moyang dan symbol bagi kedatangannya. Bangunan-bangunan
ini ditemukan di daerah-daerah Laos, Nankin, Indonesia, Pasifik sampai Polinesia.
Tradisi megalitik yang masih hidup hingga sekarang antara lain di Assam, Burma
(suku Naga, Khori, dan Ischim), dan Indonesia (Nias, Toraja, Flores, dan
Sumba).
C. Pertanian
Pola bercocok tanam dikerjakan dengan
amat sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut kadar kesuburan
tanah. Hutan yang akan dijadikan tanah pertanian dibakar terlebih dahulu serta
dibersihkan, kemudian ditanami umbi-umbian seperti keladi. Mereka sudah menanam
suatu jenis padi liar yang terdapat di hutan dan kemudian mengetam dengan
menggunakan pisau-pisau batu yang tajam.
Setelah musim panen, tanah pertanian
yang sederhana tersebut ditinggalkan. Pola pertanian amat sederhana yang
dilakukan secara berpindahpindah ini ditemukan di daerah Asia Tenggara. Jenis tanam-tanaman
itu pada umumnya tumbuh secara liar, tetapi ada juga yang sengaja ditanam
dengan jalan memisahkan tunas-tunasnya atau dengan langsung menanam pokok-pokok
batangnya. Tanaman lain yang mungkin sudah dikenal adalah tanaman jenis
rumput-rumputan yang ditanam di sawah kering yaitu dengan menaburkan biji-bijian.
Perlu diingat bahwa, alam tidak selamanya menyediakan tanah yang subur. Pada
suatu ketika semua itu akan berkurang dan tanah-tanah makin habis kesuburannya.
Akibatnya, tanah yang kurang subur tersebut ditinggalkan. Kemu-dian, tanah baru
dibuka di tempat lain dengan menebangi hutan-hutan dan membakar semak belukar
yang telah mengering. Alat-alat yang di-gunakan pada masa itu terbuat dari
batu, tulang-tulang binatang,
tanduk, dan kayu. Di tempat-tempat
tandus muncul industri-industri lokal yang menghasilkan alat-alat kerja untuk kepentingan
masyarakat. Bukti-bukti ten-tang hal ini kita temukan di beberapa tempat
seperti di Punung, Kendeng, Lembu, Wonogiri, sekitar Bogor, Purwakarta, dan di
Lahat (Sumatera Selatan).
D. Bahasa
Pada masa berburu dan mengumpulkan
makanan, mereka selalu bergerombol. Untuk menangkap binatang diperlukan sikap
gotong royong, alat-alat berburu, pemikiran, komunikasi, daya ingat, kemampuan merancang,
dan koordinasi otot. Hasil buruan tersebut tentu tidak habis di-makan di
tempat, sehingga makanan itu harus di-bawa ke pangkalan (tempat tinggal) dan
disimpan. Dalam kegiatan sosial tersebut tentu diperlukan alat komunikasi. Ada
dugaan bahwa bahasa dalam bentuk sederhana sudah dipakai oleh pithecanthropus,
walaupun harus dibantu dengan isyarat wajah dan anggota badan. Timbulnya komunikasi
dalam evolusi budaya dicerminkan dalam perkembangan otak dan bentuk tenggorokan.
Bahasa sebagai alat komunikasi ma-nusia sudah mulai terbentuk pada tingkat berburu.
Kemungkinan adanya bentuk-bentuk komunikasi dengan bahasa yang masih sederhana dapat
di-buktikan melalui penelitian endokranial pada pi-thecanthropus. Pada
tingkat homo sapiens telah tercipta bahan yang menjadi alat komunikasi utama
dalam kehidupan sosial manusia. Hasil-hasil penyelidikan menunjukkan bahwa bahasa-bahasa
yang digunakan di Kepulauan Indonesia termasuk rumpun Melayu Polinesia. Keserumpunan
ini didasarkan atas penelitian Basic Vocabulary pada berbagai
bahasa yang dipergunakan di Kepulauan Austronesia hingga Polinesia. Bahkan,
ciri-ciri keserumpunan itu dijumpai pada bahasa-bahasa Mon Khmer-Thai di daratan
Asia Tenggara.
E. Pelayaran
Masyarakat prasejarah Indonesia telah
mengenal astronomi. Ilmu yang sangat membantu pada
saat mereka berlayar dari pulau ke
pulau dengan memakai perahu yang sangat sederhana. Pembuatan perahu dilakukan
secara gotong royong. Sebatang pohon besar yang ditumbangkan bersama- sama untuk
keperluan pembuatan perahu dipotong-potong dengan alat batu dan disesuaikan dengan
ukuran perahu yang dikehendaki. Setelah potongan batang pohon itu kering,
kulitnya dikupas dengan alat beliung dan belicung. Untuk pembuatan rongga,
dilakukan pembakaran sedikit demi sedikit. Selanjutnya perahu dihaluskan,
kemudian disiapkan cadik-cadik di kedua belah sisi badan perahu. Perahu-perahu
cadik merupakan bentuk yang paling umum dikenal pada waktu itu. Perahu cadik merupakan
elemen terpenting yang tidak dapat dipisahkan dari penyebaran tradisi beliung
persegi dengan segala aspeknya (sosial ekonomi dan kepercayaan). Pada masa bercocok
tanam telah muncul bentuk perdagangan yang bersifat barter. Barang-barang yang
ditukarkan itu dibawa dengan jarak tempuh yang jauh melalui sungai, laut dan
darat. Perahu dan rakit-rakit bambu memegang peranan yang sangat penting
sebagai sarana lalu lintas dan sekaligus sebagai alat penyebaran budaya.
Semenjak manusia dapat berlayar dengan perahu, jarak yang jauh dapat ditempuh
dengan mudah. Sarana transportasi melalui jalan laut lebih menguntungkan daripada
jalan darat. Sistem perdagangan sudah lebih berkembang menjadi perdagangan
antarpulau, bahkan antar benua. Hal ini dapat dilihat dari ragam benda-benda
yang ditemukan di Indonesia. Benda-benda itu memperlihatkan corak budaya dari daratan
Asia Tenggara.
F. Budaya
Nilai-nilai budaya masa prasejarah
dapat menumbuhkan kesadaran nasional bagi generasi yang akan datang sehingga perlu
dilestarikan. Nilai-nilai itu antara lain, sebagai berikut.
1. Gotong royong. Gagasan gotong
royong sudah dikenal oleh masyarakat prasejarah. Dalam
perkembangan masalah gotong royong
menjadi salah satu nilai dalam masyarakat Indonesia.
2. Musyawarah dan mufakat. Kebiasaan
mendahulukan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi
bersama serta mengenal prinsip pemilihan seseorang pemimpin diantara mereka.
3. Persatuan dan kesatuan. Mereka
memiliki rasa cinta terhadap tanah kelahiran. Nilai-nilai ini
menjadi dasar bagi tumbuh dan
berkembang rasa nasionalisme bagi Bangsa Indonesia.
4. Nilai persamaan. Masyarakat
Indonesia telah mengenal nilai persamaan dan tidak membedakan sara. Mereka
memberikan bantuan bagi yang memerlukan tanpa membeda-bedakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar