Aceh semula
merupakan kerajaan kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Pedir. Pada tahun 1514, Sultan
Ali Mughayat Syah (Sultan Ibrahim) berhasil melepaskan
Aceh dari kekuasaan Pedir. Sebagai kerajaan yang merdeka, Aceh berangsurangsur menjadi
kerajaan besar melampaui Kerajaan Pedir. Perkembangan Kerajaan Aceh berkaitan
erat dengan keadaan yang terjadi di Malaka. Sejak Por-tugis berkuasa, di Malaka
diterapkan system mo-nopoli yang sangat merugikan pedagang. Para pedagang yang
datang dari Arab, Persia, dan Gujarat kemudian mencari tempat persinggahan baru
untuk berdagang. Tempat persinggahan baru itu ialah Pelabuhan Aceh yang sedang
tumbuh. Dari Aceh para pedagang dapat melanjutkan pelayaran dengan menyusuri
pantai barat Pulau Sumatera, ke Barus, Pariaman, Bengkulu, terus ke Selat
Sunda. Untuk menyambut kedatangan para pedagang yang semakin ramai tersebut,
Aceh mempersiapkan dan memperbaiki sarana-sarana di pelabuhan, menambah jumlah
pegawai, dan mengangkat syahbandar berkebangsaan Turki yang sudah
berpengalaman.
Selain itu,
armada angkatan laut juga terus diperkuat guna mengamankan jalur pelayaran dari
gangguan Portugis. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1606
- 1637) Aceh mencapai kejayaan. Wilayah kekuasaannya bertambah luas. Kehidupan
beragama
mengalami perkembangan pesat. Di
lingkungan istana tinggal seorang ulama besar bernama Hamzah Fansuri.
Beliau banyak menulis buku-buku tentang agama Islam. Muridnya yang terkenal dan
menjadi ulama besar ialah Samsuddin as-Sumatrani. Armada dagang
dari Aceh berlayar hingga ke Laut Merah. Barang yang diperdagangkan beraneka ragam,
di antaranya lada, emas, kapur barus, dan kain. Aceh menjalin hubungan dengan
Kekhalifahan Turki di Timur Tengah. Turki banyak membantu Aceh dalam bidang
persenjataan modern.
Faktor-faktor yang mendukung kemajuan
Aceh antara lain, sebagai berikut.
Letak Aceh yang strategis
karena berada pada jalur perdagangan Nusantara maupun internasional.
Aceh memiliki pelabuhan
yang baik sebagai pe-labuhan dagang.
Aceh sebagai pelabuhan
transit menuju Eropa.
Jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis pada tahun 1511 mengakibatkan berkurangnya persaingan di bidang
perdagangan di selat Malaka.
Aceh tampil sebagai pelabuhan utama
(Bandar dagang). Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, Aceh me-ngalami kemunduran.
Raja-raja penggantinya lemah dan sering terjadi perselisihan antara para raja
dengan para ulama. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tani (1637-1642),
buku-buku karya Hamzah Fansuri dibakar. Ajarannya dianggap sesat dan dilarang. Nuruddin
ar-Raniri, yang berasal dari India (Gujarat) diangkat menjadi ulama.
Pada masa kemunduran ini, Aceh banyak kehilangan daerah-daerah kekuasaan. Wilayahnya
menciut sehingga menjadi lebih kurang seluas provinsi Aceh yang sekarang.
Walaupun demikian Kerajaan Aceh tetap bertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar