Sutawijaya memperoleh hak dan mahkota Kerajaan Pajang
dari Pangeran Benawa. Atas permintaan Sutawijaya, semua alat upacara kerajaan
dan pusaka Majapahit dipindahkan dari Pajang ke Mataram (tahun 1586). Sutawijaya
menjadi Raja Mataram pertama bergelar Panembahan Senopati Ingalaga
Sayidina Panatagama (1586-1601). Gelar itu menunjukkan bahwa selain sebagai
seorang raja, Panembahan Senopati sekaligus adalah panglima perang dan pemimpin
agama. Panembahan Senopati bercitacita ingin mempersatukan Pulau Jawa di bawah
Mataram, sehingga ia memerlukan penasihat. Oleh ka-rena itu, Juru Martani
(pamannya) diangkat sebagai penasihat.
Dalam usaha mencapai cita-citanya,
Senopati segera melakukan ekspedisi ke Jawa
Timur yakni ke Surabaya (1586), Madiun, Ponorogo,
Pasuruan (1587), Panarukan, dan Blambangan yang
masih menganut agama Hindu. Daerah-daerah
itu berhasil ditaklukkan. Akan tetapi, setelah
ditinggalkan mereka kemudian melepaskan diri lagi. Jawa Barat dan Jawa Tengah pun tidak
luput dari pandangannya. Pada tahun 1595,
Cirebon dan Galuh ditundukkan. Demikian juga
Pati dan Demak, yang pada saat itu mencoba
untuk memberontak. Namun, Banten belum berhasil
ditaklukkan. Dengan keberhasilan yang telah
diraih, berarti Panembahan Senopati sudah
meletakkan dasar yang kokoh dan kuat untuk
mempersatukan
seluruh Ja-wa dengan Kebudayaan Islam
Jawa sebagai kelan-jutan dari kesatuan
Majapahit yang berbudaya Hindu Jawa.
Pada mulanya Panembahan Senopati mengalami kesulitan dalam memerintah rakyat di pesisir utara Jawa. Hal ini disebabkan rakyat semula biasa berdagang, sedangkan Panembahan Senopati berpola pedalaman yang mementingkan pertanian. Akibatnya, perdagangan mengalami kemunduran. Selanjutnya, Panembahan Senopati meningkatkan bidang pertanian sehingga kian maju dan rakyat menjadi makmur sehingga Mataram dikenal sebagai “lumbung padi”.
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601. Ia dimakamkan di Kota Gede. Mas Jolang (putera Panembahan Senopati) menggantikannya sebagai sultan. Mas Jolang juga melakukan banyak peperangan. Di zaman Senopati peperangan dilakukan untuk menaklukkan daerah-daerah. Pada zaman Mas Jolang, peperangan dilakukan untuk menumpas daerah-daerah yang bermaksud melepaskan diri dengan cara memberontak. Mas Jolang berperang menumpas dan menaklukkan Demak, Ponorogo, dan Surabaya (1612). Namun, ketika Surabaya belum berhasil ditundukkan, Mas Jolang wafat (1613). Ia dimakamkan di Kota Gede. Ia dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pengganti Mas Jolang ialah Mas Rangsang, yang terkenal dengan sebutan Sultan Agung. Dalam masa pemerintahannya, Sultan Agung membagi Mataram menjadi beberapa wilayah yaitu:
Wilayah Kraton
Wilayah ini adalah pusat pemerintahan.
Wilayah kraton disebut juga Kutanagara atau
Kutagara.
Wilayah sekitar Kraton
Wilayah sekitar kraton disebut Negara
Agung.Yang termasuk wilayah sekitar kraton
adalah
Kedu, Bagelan, dan Pajang.
Wilayah di luar Negara
Agung
Wilayah di luar Negara Agung disebut
Pasisiran. Wilayahnya meliputi daerah pantai.
Wilayah di luar Mataram
Wilayah di luar Mataram disebut
Mancanegara. Sultan Agung bercita-cita dan berusaha
mempersatukan seluruh Nusantara. Wilayah Nusantara yang sudah berhasil ditaklukkan antara
lain Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian Jawa
Barat ter masuk Banten. Sedangkan Batavia belum
berhasil ditaklukkan.
Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung mengerahkan ribuan prajurit untuk menyerang VOC
di Batavia. Akan tetapi, kedua
serangan itu gagal. Oleh karena itu, Mataram harus selalu
waspada terhadap rongrongan VOC. Kegagalan
kedua serangan tersebut antara lain disebabkan:
jarak Batavia dan pusat
kekuatan Mataram di Jawa Tengah terlalu jauh;
kurangnya makanan;
serangan penyakit menular
yang menimpa para prajurit.
Sultan Agung, sebagai seorang muslim, tidak lupa memperhatikan bidang keagamaan. Tradisi
Grebekan Maulud dan perayaan Sekatenan diadakan setiap tahun. Grebekan Maulud dan
Sekatenan adalah upacara memperingati hari lahirnya Nabi
Muhammad SAW. Setiap Jumat, Sultan Agung sholat bersama dengan rakyatnya di Masjid
Agung di lingkungan keraton. Demikian pula pada
hari-hari raya Islam, Sultan Agung merayakannya
bersama dengan rakyat. Kedisiplinan, kejujuran, ketertiban,
tanggung jawab dan keadilan sangat dijunjung
tinggi dan selalu diwujudkan oleh Sultan Agung
dalam setiap kesempatan. Sikap-sikap tersebut juga
diterapkan kepada para pembesar kerajaan dan
lingkungan keluarganya. Misalnya, pada suatu
ketika Prabu Anom, (putra mahkota) berbuat sesuatu yang
kurang terpuji. Sultan Agung sangat malu dan
selama 40 hari ia tidak melakukan sholat di
masjid. Para pembesar dan rakyat Mataram sangat
sedih. Setelah putra mahkota meminta maaf dan menyadari kesalahannya, barulah Sultan Agung
kembali tampil di muka umum.
Pada tahun 1633, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriyah. Beliau menetapkan tanggal 1 Muharam 1043 H menjadi tanggal 1 Muharam (Suro) tahun 1555 tahun Jawa. Tahun 1633 bertepatan dengan tahun 1043 H dan tahun 1555 Saka. Perhatian Sultan Agung terhadap perkembangan sastra sangat besar. Ia sendiri bahkan merupakan seorang sastrawan. Di dalam bidang sastra, Sultan Agung mengarang kitab Serat Sastra Gending yang berisi ajaran filsafat Jawa.
Sultan Agung wafat pada tahun 1645. Ia
dimakamkan di Imogiri. Sepeninggal Sultan Agung,
Mataram mengalami kemunduran karena
raja-raja penggantinya lemah dalam menghadapi Belanda. Sultan Agung digantikan oleh putranya
yang bergelar
Amangkurat I.
Amangkurat I memerintah Mataram dari
ta-hun 1645-1677 M. Ketika ia menduduki tahta
Kerajaan Mataram, Belanda mulai masuk ke daerah
Kerajaan Mataram. Amangkurat I bersekutu dengan
Belanda. Bahkan Belanda diperbolehkan
men-dirikan benteng di Kerajaan Mataram. Tindakan Belanda semakin
sewenang-wenang. Pada masa pemerintahan Amangkurat I
muncul pemberontakan yang dipimpin oleh Trunajaya
dari Madura. Ibukota Mataram bahkan hampir
dikuasai Trunajaya. Akhirnya pemberontakan
Trunajaya dapat dipatahkan karena persenjataan
Trunajaya kalah dari pasukan Belanda. Dalam
sebuah pertempuran di ibukota Kerajaan Mataram,
Amangkurat Iterluka. Ia dilarikan ke Tegalwangi
oleh putranya.
Amangkurat I akhirnya meninggal di Tegalwangi. Amangkurat I digantikan oleh Amangkurat II.
Amangkurat II memerintah Mataram dari
tahun 1677-1703 M. Di bawah pemerintahannya,
wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram semakin
sempit. Satu per satu daerah-daerah kekuasaan
Mataram jatuh ke tangan Belanda. Mataram
hanya menjadi negara kecil di bawah kekuasaan
Belanda. Sebagian besar daerah-daerah kekuasaan Mataram
diambil alih Belanda. Amangkurat II kemudian mendirikan ibukota baru di Kartasura. Ia
meninggal pada tahun 1703 M.
Setelah Amangkurat II, Kerajaan Mataram semakin redup. Terjadi kemelut di dalam kerajaan.
Pada tahun 1755 diadakanlah suatu
perjanjian. Per-janjian itu dikenal dengan nama Perjanjian
Gianti. Isi Perjanjian Gianti adalah Mataram
dipecah men-jadi 2, yaitu:
Daerah Surakarta diperintah
oleh Susuhunan Pakubuwono III (1749-1788).
Daerah Kesultanan
Yogyakarta diperintah oleh Mangkubumi, bergelar Sultan Hamengku
Buwono I (1755-1792).
Kemelut di bekas Kerajaan Mataram ternyata terus berlanjut. Sewaktu terjadi perlawanan dari
Mas Said, Belanda mengadakan Perjanjian
Salatiga pada tahun 1757. Mas Said dinobatkan
sebagai raja dengan gelar Pangeran Adipati
Arya Mangkunegara. Wilayahnya diberi nama daerah
Mangkunegara.
Pada tahun 1813 M, sebagian daerah Kesultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati. Dengan demikian, Kerajaan Mataram akhirnya dibagi-bagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yaitu:
Pada tahun 1813 M, sebagian daerah Kesultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati. Dengan demikian, Kerajaan Mataram akhirnya dibagi-bagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yaitu:
Kerajaan Yogyakarta;
Kesuhunan Surakarta;
Kerajaan Pakualam;
Kerajaan Mangkunegara.
Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan
Mataram yang besar dan megah pada zaman Sultan
Agung menjadi kerajaan-kerajaan kecil
yang lemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar